Beranda | Artikel
Batasan Mengingkari Kemungkaran
Selasa, 5 April 2005

BATASAN MENGINGKARI KEMUNGKARAN

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengingkari suatu kemungkaran dengan keras pada seseorang, tapi masalah itu merupakan masalah yang mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Lalu orang yang diingkarinya itu membantahnya dengan mengatakan, Anda tidak berhak mengingkari saya dalam masalah ini, karena masalah ini fleksible. Lalu, apa kriteria-kriteria untuk mengingkari kemungkaran? Apakah benar tidak boleh mengingkari (masalah khilafiyah) sesuatu yang mengandung perbedaan pendapat? Dan apa hukum orang mengingkari kemungkaran orang lain dalam masalah khilafiyah (masalah-masalah yang mengandung perbedaan pendapat)?

Jawaban.
Masalah-masalah khilafiyah adalah ruang lingkup ijtihad, karena tidak ada nashnya yang jelas dan tidak ada dalil yang shahih untuk menguatkan salah satu pendapat, karena itulah terjadi perbedaan pendapat di antara para imam yang terkenal. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah-masalah cabang syari’at (masalah furu ‘iyah). Hal ini tidak boleh diingkari dengan keras terhadap salah seorang mujtahid. Misalnya tentang bacaan basmalah dengan suara nyaring, bacaan di belakang imam, duduk tawarruk pada raka’at kedua, bersedekap setelah bangkit dari ruku’, jumlah takbir pada shalat jenazah, kewajiban zakat pada madu, sayur mayur dan buah-buahan, berbuka karena berbekam, kewajiban membayar fidyah bagi yang sedang ihram karena lupa atau memotong rambut atau mengenakan wewangian karena lupa, dan lain sebagainya.

Tapi jika perbedaan itu tipis dan bertolak belakang dengan nash yang jelas, maka pelakunya diingkari jika meninggalkannya, tapi pengingkarannya harus berdasarkan dalil. Misalnya tentang mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan ketika bangkit dari ruku’, thuma’ninah ketika ruku’ dan sujud dan setelah bangkit dari ruku dan sujud, bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahhud, wajibnya salam sebagai penutup shalat, dan lain sebagainya.

Adapun perbedaan pendapat dalam masalah aqidah, seperti; sifat tinggi dan istiwa, penetapan sifat-sifat fi’liyah bagi Allah Subhnahu wa Ta’ala, penciptaan perbuatan-perbuatan makhluk, pengkafiran karena dosa, memerangi pemimpin, mencela para shahabat, sifat permulaan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlebih-lebihan terhadap Ali dan keturunannya serta isterinya, keluarnya amal perbuatan dari cakupan keimanan, mengingkari karamah, membuat bangunan di atas kuburan, shalat di dekat kuburan, dan lain sebagainya. Yang demikian ini harus diingkari dengan keras, karena para imam telah sepakat pada pendapat para pendahulu umat, adapun perbedaan pendapat datangnya dari para pelaku bid’ah atau setelah tiadanya para imam pendahulu umat. Wallahu a’ lam.

Al-Lu’lu’ Al-Makin, dari Fatwa Syeikh Ibn Jibrin, hal. 296-297.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masaa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjmeah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1396-batasan-mengingkari-kemungkaran.html